Penulis Blog Iini

My photo
Seorang anak muda beragama Islam. Berumur belasan tahun. Menulis blog hanya untuk mendapat keredhaanNya. Mendukung kepada kebenaran. Membasmi kemungkaran. Menegakkan keadilan berlandaskan Qanun-qanun Syara'. Syahid itu utama.

Rakan Setia

21 December 2011

Ulama Mewarisi Anbiya'

Salam ukhuwah fillah.


 "Jika ia telah menetapkan suatu kebenaran, ia tetap nyatakan kebenaran, apapun yang terjadi. Walaupun harus berbeda dengan pendapat umum, juga pendapat penguasa." 

Al-ulama' warasatul anbiya'

Akhir-akhir ini ummat Islam telah kehilangan pegangan. Ada semacam krisis keteladanan. Ulama yang semestinya menjadi tokoh idola, teladan dan pautan ummat ternyata banyak yang mengecewakan.

Ujian terberat bagi ulama adalah istiqamah dalam sikap dan pendirian. Pada ujian ini tidak sedikit ulama yang berguguran. Mereka tidak kuat memegang teguh prinsip, mudah mengalah atau dikalahkan. Ada yang kalah kerana keseronokan duniawi, ada pula yang dikalahkan oleh ancaman dan siksaan.

Ibnu Taimiyah termasuk sedikit di antara ulama yang istiqamah memegang prinsip. Jika ia telah menetapkan suatu kebenaran, ia tetap menyatakan kebenaran walau apapun yang terjadi. Walaupun harus berbeza dengan pendapat umum, apalagi berbeza dengan pendapat pemimpin. Ibnu Taimiyah tak hirau soal ini.

Akibat keteguhannya dalam memegang prinsip, ia selalu keluar masuk penjara. Sampai akhir hayatnya ia tetap dalam posisinya seperti itu. Berkali-kali disiksa, berkali-kali dizalimi, tapi tidak sedikit pun berjaya menggoyahkannya untuk mempertahankan pendiriannya yang diyakini kebenarannya. Tak sejengkalpun ia mundur. Dari lisan Ibnu Taimiyah akhirnya muncul kata-kata mutiara:

"Penjara ku adalah berkhalwat, pembuanganku adalah tempat hijrahku, dan pembunuhanku adalah syahid."

Di setiap masa selalu saja kita menjumpai ulama yang teguh pendiriannya seperti beliau. Mereka adalah ulama-ulama yang patut dicontohi. Tapi sayang, jumlah mereka terlalu sedikit jika dibandingkan dengan ulama yang suka menjual diri.

Untuk menjadi pautan, seorang ulama tidak cukup hanya mengandaikan ilmunya. Kedalaman dan keluasan ilmu agama memang menjadi syarat mutlak, tapi tanpa nilai-nilai moral yang tinggi, seorang ulama menjadi tidak bererti. Ulama menghiasi ilmunya dengan ketaqwaan, keikhlasan, kejujuran, dan keadilan.

Imam Malik pernah ditanya tentang seorang 'alim atau ulama. Ia menjawab, 

"Seorang yang 'alim tidak dikatakan 'alim sampai ia dapat mengamalkan secara khusus untuk dirinya suatu amalan yang tidak diwajibkan kepada manusia, dan ia tidak memberikan fatwa kepada orang lain tentang amalannya itu yang sekiranya ditinggalkan tidak berdosa."

Kebanyakan ulama sekarang sempurna ketika berhujah. Isi hujahannya tidak ada yang cacat. Semua berisi kebaikan dan anjuran untuk berbuat baik. Akan tetapi masih ada yang menyeru melakukan kebaikan sedangkan dalam pada waktu yang sama, mereka sendiri hanya pandai berkata tetapi gagal untuk melaksanakannya. Karena itulah Allah Swt memperingatkan:

"Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri padahal kamu membaca al-Kitab. Maka tidakkah kamu berpikir?" (al-Baqarah: 44)

"Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka enggan memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zhalim." (al-Jumu'ah: 5)

Di antara yang bisa menandai seorang ulama adalah kemampuannya dalam mengendalikan hawa nafsu. Ulama adalah orang yang paling mampu mengendalikan nafsu. Akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak dijumpai ulama yang mengumbar hawa nafsunya. Akibatnya, jika mereka berfatwa, maka fatwanya cenderung mengikuti hawa nafsu, baik itu hawa nafsunya sendiri, maupun hawa nafsu orang lain. Hawa nafsu orang lain yang paling banyak mempengaruhi ulama dalam sejarah adalah hawa nafsu para penguasa yang diharapkan hadiah-hadiah dan ditakuti ancaman tindakannya.

Di antara jenis-jenis ulama yang buruk ada yang rakus, ada pula yang penakut. Kedua-duanya berusaha untuk mendekati penguasa, dengan cara memalsukan kenyataan yang ada, mengganti hukum-hukum, menyelewengkan maksud-maksud hukum, mengikuti kehendak hatinya, demi untuk memuaskan keinginan para penguasa. Terhadap kecenderungan itu, Allah subhanahu wa taala memperingatkan Rasulullah sallahu alaihi wasallam dengan firman-Nya: 

"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari'at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syari'at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebahagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertaqwa. Al-Qur'an itu adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini." (al-Jatsiyah: 18 ? 20)

Sebagian besar kesesatan mereka bukan tanpa sengaja, juga tanpa pengetahuan. Kesesatan mereka semata-mata karena dorongan hawa nafsu yang tak mampu dibendungnya. Memang tidak dinafikan bahawa syaitan itu sememangnya mendengki pada ulama. Ingatlah, syaitan itu adalah musuh yang terang lagi nyata buat kita semua. Allah subhanahu wa taala berfirman:

"Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya." (an-Naml: 14)

Takbir!!! Allahu akbar!!!

No comments: